Oh
ibu dan ayah selamat pagi
Kupergi sekolah, sampai nanti
Selamat belajar nak penuh semangat
Rajinlah selalu tentu kau dapat
Hormati gurumu, sayangi teman
Itulah tandanya, kau murid budiman.
Syair di atas
sangat popular di kalangan siswa sekolah dasar. Syair yang mencerminkan siswa
yang akan berangkat sekolah dan mendapat pesan dari orang tuanya. Salah satu
pesannya agar selalu menghormati gurunya. Guru dihormati? Ya…guru harus
dihormati dan harus terhormat. Mengapa guru harus dihormati dan terhormat?
Salah satu alasannya karena guru merupakan sekelompok orang yang dipercaya
dapat menjaga dan melakukan perbuatan-perbuatan terhormat. Karena hal inilah
maka, orang tua memercayakan anaknya kepada guru untuk diajari dan dididik.
Orang tua memercayai guru dapat menambah pengetahuan dan merubah kelakuan serta
keterampilan anaknya menjadi lebih baik. Menjadi anak yang “budiman”. Menjadi lebih baik? Menjadi
anak budiman? Ya … kita percaya guru mampu melakukannya. Raport dan ijazah yang
diberikan kepada siswa merupakan tanda perubahan itu. Jika anak sudah menerima
raport dan ijazah, maka kita percaya anak kita sudah berubah, sudah menjadi “anak yang budiman”.
Meski itu tanda secara administratif. Tidak
usah diperdebatkan, toh kita sering menggunakan tanda administratif sebagai
ukuran utama. Bukankah untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa juga
mempersyaratkan ijazah? Bukankah untuk menjadi anggota DPR juga memerlukan
ijazah? (tidak usah diperdebatkan kepalsuannya!) Bukankah untuk menjadi guru atau
dosen yang dilihat juga ijazah? Bahkan untuk menjadi guru besar juga
mempersyaratkan ijazah. Pokoknya ijazah merupakan “password” untuk menembus dan memasuki “dunia lain”. Sekali lagi, tidak usah diperdebatkan makna dari
ijazah tersebut. Kita dapat memberi makna apapun, sesuai dengan kemauan kita, asalkan menjadi kesepakatan bersama.
Ketika anak-anak
TK diminta untuk mengatakan cita-citanya, mereka dengan lantang akan meneriakan
berbagai profesi. Pilot, dokter, polisi, tentara, penyanyi, bintang film,
pengusaha dan beberapa
profesi lain. Adakah yang meneriakan guru? Ketika anak SD diminta menuliskan
cita-citanya, mereka juga akan
menuliskan berbagai profesi. Dokter,
pilot, perawat, bidan, polisi,
tentara, bintang film, penyanyi, pengusaha, pengacara, dan sebagainya. Masih ada yang menuliskan
profesi guru? Ketika anak kelas tiga SLTA ditanya tentang cita-citanya, sebagian besar bingung menjawab apa. Sebagian lain tidak
menjawab. Beberapa gelintir anak menjawab
profesi guru. Beberapa anak yang lain justru antipati
kepada profesi guru. Mengapa ada anak yang memilih dan ada yang antipati kepada
profesi guru? Jawabannya hanya mereka yang mengetahui. Tapi mungkin cukup
menarik untuk ditelusuri.
Kebijakan
pemerintah yang membatasi penerimaan PNS hanya untuk tenaga pendidik (guru) dan
kesehatan membawa imbas yang “bagus”. Kebijakan ini mendongkrak atau lebih
tepatnya mungkin “memaksa” orang untuk memilih profesi guru. Profesi guru yang
sebelumnya hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi pilihan utama. Banyak orang
tua sangat menekankan anaknya untuk memilih profesi guru, selain tenaga
kesehatan sebagai pilihan utama. Imbas yang bagus ini semakin bagus karena
masih ditunjang dengan kebijakan pemerintah daerah yang memberi insentif kepada
guru. Penghasilan guru semakin tinggi. Kesejahteraan material semakin baik,
bahkan dapat dikatakan sangat baik. Anak SLTA yang semula antipati dengan
profesi guru, kini terpaksa harus meninjau kembali pandangan dan penilaian
mereka. Kini mereka tidak ragu dan sungkan untuk menyatakan cita-citanya menjadi
guru. Tidak usah ditanya dulu bakat dan minatnya. Profesi guru menjadi sangat
digemari, menjadi pilihan banyak orang, menjadi sangat laris manis.
Banyak orang ingin
menjadi guru. Fakultas keguruan kebanjiran mahasiswa. Kelas paralel dibuka
sebanyak mungkin. Kampus menjadi ramai dan meriah. Timbul pertanyaan.
Sejatinya, mau menjadi guru atau mau menjadi PNS? Bagi yang merasa idealis,
akan menjawab mau menjadi
guru. Bagi yang pragmatis akan mejawab menjadi PNS. Bagi yang realistis akan
menjawab menjadi guru yang berstatus PNS. Pilihan jawaban yang aman. Apapun
pilihan jawabannya yang penting menjadi guru harus mempunyai ijazah. Diutamakan
ijazah guru. Karena ijazah merupakan persyaratan administrasi yang utama.
Bagaimana bila tidak mempunyai ijazah guru? Secara sederhana dan cepat akan
dijawab tidak bisa. Tapi hasrat hati tetap akan memilih menjadi guru, dan itu
peluang yang paling mungkin diraih. Bukankah ijazah yang dimiliki bukan ijazah
guru? Bukankah itu pertanda dulunya tidak bercita-cita menjadi guru? Guru TK,
SD, SLTP dan SLTA menanyakan cita-cita
siswanya ketika siswanya
masih duduk di bangku belajar. Bukan setelah mereka tidak menjadi muridnya. Bukan setelah memperoleh ijazah. Ketika
mereka sudah yakin dengan cita-citanya sebagai guru, maka merekapun memilih
sekolah guru. Mencari dan mendapat ijazah guru. Lalu menjadi guru. Menggeluti
profesi guru sepanjang hayatnya. Sederhananya, cita-cita menjadi guru sudah
direnungkan, dipertimbangkan, dipikirkan dengan masak-masak, dipilih,
dipastikan dan ditetapkan sejak duduk di bangku sekolah. Jauh sebelum
memperoleh ijazah. Bukan ditetapkan sesaat, seketika dan mendadak. Bukan
ditetapkan setelah tidak mendapat pekerjaan kemudian memilih guru sebagai
cita-citanya. Bukan sebagai cita-cita “banting setir” setelah “kendaraan” yang
dikemudikan tidak menghasilkan apa-apa seperti yang dicita-citakan semula.
Profesi guru
merupakan profesi unik, khas dan menarik. Unik karena yang dihadapi manusia
yang sedang tumbuh dengan berbagai dinamikanya. Khas karena memiliki ciri yang
tidak dimiliki profesi lain. Menarik karena selalu menjadi bahan pembicaraan
dalam berbagai tingkatan forum. Mulai tingkat lokal, nasional, regional sampai
internasional.
Selalu
dibicarakan? Ya, karena guru sangat sering menjadi topik menarik dalam berbagai
seminar. Sering menjadi topik menarik? Ya, karena guru berkaitan dengan
generasi bangsa, masa depan bangsa, peradaban bangsa, bahkan dunia, kejayaan,
kemajuan, kemakmuran, dan keagungan selalu menjadi terminologi yang akrab dengan
guru. Guru merupakan rekan sekerja Tuhan dalam arena “penyelamatan”.
Penyelamatan dari kegelapan pengetahuan, penyelamatan dari kebodohan,
ketertinggalan, kemiskinan dan keterpurukan lainnya. Betapa tinggi dan mulianya
fungsi guru. Jadi sudah sangat wajar dan mulia jika ada siswa yang bercita-cita
menjadi guru. Dan bukankah juga sangat wajar jika menjadi guru juga
mempersyaratkan ijazah guru?
Lalu bagaimana
dengan seseorang yang menjadi guru karena “banting setir?” Apakah tidak boleh
mencari “peruntungan?” Apakah salah kalau berusaha memperbaiki nasib? Profesi
itu pilihan hidup masing-masing individu. Setiap individu boleh memilih profesi
apapun. Hanya saja dalam memilih itu ada pengaturan atau peng-administrasi-an
agar cita-cita setiap individu akan teratur dan tidak saling terbentur. Bila
tidak ada pengaturan maka akan sulit dibedakan antara fakultas keguruan dengan
fakultas bukan keguruan. Dibentuknya fakultas keguruan merupakan proses pengaturan cita-cita
tersebut.
Lalu bagaimana
dengan seseorang yang sudah terlanjur memilih profesi guru karena “banting
setir?” Terlebih dahulu, memperbaiki niat dan cita-citanya lalu tetap menekuni
profesi guru dengan sepenuh hati. Memperbaiki niat dapat dilakukan dengan cara
memperbaiki komitmen, selalu konsisten dan tetap konsekuen dalam profesi guru.
Komitmen hanya
merupakan pernyataan, hanya kehendak, hanya sikap untuk melakukan sesuatu.
Seseorang bisa saja menyatakan komitmennya dalam suatu hal. Komitmen itu perlu
pembuktian, perlu pengujian. Pembuktian dapat dilakukan melalui hasil kerja
secara nyata dan terukur. Pengujian dapat dilihat berdasarkan rentang waktu lamanya komitmen tersebut bertahan. Seberapa lama
komitmen dapat bertahan? Apakah intensitas dan kualitas komitmen akan tetap
terjaga bila berada dalam situasi dan kondisi yang sulit? Jangan-jangan akan
“banting setir” lagi? Untuk itulah diperlukan konsisten. Konsisten merupakan
pelaksanaan, realisasi dan implementasi komitmen dalam segala situasi dan
kondisi. Baik dalam situasi kondisi yang “nyaman” maupun yang tidak
“nyaman”. Orang akan cenderung konsisten
dengan intensitas dan kualitas yang tinggi bila situasi dan kondisi “nyaman”
bagi dirinya. Bila tidak nyaman baginya maka akan sebaliknya. Individu dengan
konsisten model ini sangat besar kemungkinan akan “banting setir” lagi. Individu yang komitmen
dan tidak mudah untuk “banting setir” itulah yang dikatakan dengan konsekuen.
Seseorang yang konsekuen, akan tetap setia, tidak akan berubah, apapun
resikonya. Seseorang yang sudah memilih guru sebagai profesi, baik karena
cita-cita maupun karena “banting setir”, maka ia akan tetap menekuni dan setia
kepada profesinya selama hidupnya. Apapun resikonya, apapun yang dirasakannya,
bagaimanapun situasi dan kondisinya, dan berapapun yang diperolehnya.
Komitmen hanya menitikberatkan dalam
pernyataan atau niat, konsisten menitikberatkan dalam segi waktu, dan konsekuen
menitikberatkan dalam segi hasil. Ketiganya saling berkaitan dan
berkesinambungan. Niat yang diimplementasikan hanya sesaat tidak akan
membuahkan hasil yang maksimal. Guru yang memiliki komitmen, konsisten dan
konsekuen adalah guru yang budiman. Apa mungkin Hormati gurumu, sayangi teman. Itulah tandanya, kau murid budiman, kalau
gurunya bukan orang yang budiman?