Judul
tulisan ini sengaja meletakan kata tidak
dalam kurung. Maksudnya agar pembaca memilih sesuai dengan kehendaknya. Pilihan
tentunya didasari atas pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman tentang
guru. Perbedaan dasar pilihan dan latar belakang pemilih, juga akan
mempengaruhi pilihan. Meskipun memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama
tentang guru, bila pengalaman tentang guru yang dimiliki berbeda, saya yakin
akan berbeda juga dalam memilih judul di atas.
Bahkan yang agak “berani”, meskipun pengetahuan, pemahaman, dan
pengalaman tentang guru sama, tetap akan berbeda dalam menentukan judul tulisan
ini. Demikian maksud dari peletakan kata tidak
dalam kurung. Pembaca akan memilih yang mana?
Berbagai
kegiatan yang berkenaan dengan guru sudah
sering dilakukan. Seminar, pendidikan pelatihan
(dua hal yang sangat sering), works shop, simposium,
penelitian dan kajian, musyawarah, dan kegiatan lainnya. Sejumlah dana, tenaga,
energi, pemikiran, gagasan telah dicurahkan
juga berkenaan dengan guru. Itupun belum cukup, masih akan ada kegiatan
dan berbagai hal tersebut yang akan dicurahkan juga berkenaan dengan guru.
Apakah hal ini menunjukan menjadi guru itu gampang atau sebaliknya? Jawaban
pertanyaan ini tentunya hanya dua kemungkinan, gampang atau tidak.
Masing-masing jawaban akan memiliki beragam alasan dan dasar jawaban. Salah
satu jawabannya mungkin begini; menjadi guru itu gampang sehingga perlu
dilakukan berbagai kegiatan agar orang lain, terutama guru tidak akan
“menggampangkan guru”, atau menjadi guru itu tidak gampang, maka perlu dan
harus dilakukan berbagai hal agar dapat merubah tidak gampang menjadi gampang. Mana
yang akan pembaca pilih?
Pemahaman,
atau tepatnya menganggap menjadi guru itu
gampang atau tidak, didasari atas pengetahuan, pemahaman dan pengalaman tentang
guru. Ada kurun waktu (meski sulit
disebutkan tahun dan bulan) saat menjadi guru suatu hal yang “sulit”,
maksudnya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Orang yang “akan” menjadi
guru benar-benar yang telah lulus seleksi jiwa dan raga, lahir dan batin,
tentunya juga administrasi birokrasi. Orang ini akan menjadi guru dengan
segenap jiwa dan raganya, lahir dan batinnya, di setiap tempat dan pada setiap
saat. Guru ini menjadi tokoh yang “bertuah”. Setiap kata dalam kalimatnya,
setiap kalimat dalam ucapannya, setiap ucapan dalam hidupnya sudah dipikirkan
benar salahnya, dirasakan manis pahitnya, dan selalu diselaraskan dengan
tindakannya. Hal ini dapat diibaratkan
suara guru “menyerupai” paling tidak mendekati suara Tuhan. Apakah saat ini masih
ada guru yang “bertuah”?
Ada
kurun waktu saat menjadi guru mudah (barangkali
dipermudah?) Seleksi orang yang akan menjadi guru lebih dominan pada seleksi administrasi birokarsi. Itupun masih
diberi beberapa pengecualian. Apakah seleksi model begini mengabaikan aspek
jiwa dan raga, lahir dan batin? Silahkan dijawab berdasarkan alasan
masing-masing. Apakah seleksi model ini akan menghasilkan guru yang
“bertuah”?. Tentunya tidak juga. Saya percaya diantara orang yang (hanya) lulus seleksi administrasi
birokrasi, masih ada yang juga “lulus” seleksi jiwa dan raga, lahir dan batin.
Berapa orang jumlahnya? Tentunya sulit disebutkan, hal ini akan nampak setelah
orang yang lulus seleksi menjadi guru nantinya. (orang yang seperti ini semoga makin banyak yang lulus).
Pertanyaannya, ketika sebuah aspek tidak menjadi syarat, apakah aspek tersebut
akan menjadi pelengkap?
Tulisan ini
hanya bermaksud untuk berdiskusi yang nanti bisa saling melengkapi. Ideal itu
berasal dari kata ide, rancangan dalam
pikiran, gagasan, cita-cita. Ideal berarti memuaskan karena sesuai
dengan yang dicita-citakan (KBBI). Guru ideal berarti guru yang sesuai dengan
gagasan. Guru ideal dapat juga dimaknai guru yang dapat memuaskan diri sendiri
dan orang lain karena sesuai dengan cita-cita pribadi dan cita-cita bersama. Guru
diharapkan dapat memuaskan diri sendiri dan orang lain. Kepuasan bagi diri
sendiri dimaknai, puas menjadi guru, tidak menganggap rendah diri sendiri
sebagai guru, tidak mudah tergoda untuk beralih profesi dan alih posisi dari
guru, struktural misalnya. Puas dengan segala hal yang dikerjakan dan semua
yang didapatkan (imbalan). Tidak
merasa pendapatan kurang, sehingga tidak
mudah menyalahgunakan wewenang
dalam berbagai kesempatan. Apakah memberi dengan tulus dan tidak
mengharap imbalan akan menimbulkan kepuasan guru? Bukankah kepuasan manusia itu
terdiri atas banyak unsur? Bukankah guru juga manusia? Apakah masih ada guru
yang mau memberi tanpa mengharap imbalan?
Guru
juga harus memuaskan orang lain, siswa, masyarakat umum, dan pemerintah. Guru
yang profesional salah satu indikatornya adalah kepuasan siswa. Tentunya
kepuasan yang sesuai dengan peraturan. Siswa yang malas akan puas bila diberi
nilai baik, tentunya bukan kepuasan model begini. Siswa yang rajin, giat dan
disiplin akan puas bila nilainya baik, karena sesuai dengan yang
dicita-citakan. Masyarakat akan puas bila anak mereka memperoleh pelayanan guru
sesuai dengan yang dicita-citakan. Pemerintah akan puas bila guru dapat bekerja
sesuai dengan yang digagas dan dicita-citakan pemerintah. Timbul beberapa
pertanyaannya, apakah guru sudah puas dengan siswa yang dihadapi? Apakah siswa
sudah memuaskan gurunya dalam bidang akademik?
Apakah guru sudah puas dengan komitmen
masyarakat terhadap anaknya? Apakah guru
sudah puas dengan kebijakan dan peraturan pemerintah yang berkenaan dengan
guru? Apakah guru puas …..? (silahkan dilengkapi)
Guru
di satu pihak, siswa, orangtua serta masyarakat di pihak lain, serta
pemerintah, merupakan tiga pihak yang saling berhubungan. Ketiga pihak masing-masing mempunyai cita-cita,
gagasan dan rancangan dalam pikiran. Cita-cita, gagasan dan rancangan dalam
pikiran masing-masing diupayakan untuk diwujudkan. Perwujudannya haruslah
saling berkait dan mendukung, tanpa ada yang dirugikan dan dikalahkan. Tidak
boleh ada yang mendominasi dalam berhubungan. Simbiose mutualisme. Pola
hubungan ketiga pihak harus minimbulkan kepuasan bersama. Jangan sampai
kepuasan satu pihak menjadi kerugian bagi pihak lain. Timbul pertanyaan, apakah
semua pihak tersebut sudah merasa puas? Apakah
tingkat kepuasan semua pihak sudah sama?
Berbagai
kegiatan yang telah dan akan dilakukan yang berkenaan dengan guru dimaksudkan
untuk memberi kepuasan kepada semua pihak tersebut. Hanya saja indikator
kepuasan masing-masing pihak belum terumuskan secara nyata, dan menyatu.
Sehingga mengakibatkan masing-masing pihak akan menafsirkan dan mengukur
kepuasan menurut ukuran masing-masing. Ukuran kepuasan pemerintah terhadap guru
mungkin relatif lebih jelas, karena tertuang dalam sejumlah tata aturan. Bila
tata aturan itu sudah ditaati dan dilaksanakan guru, maka pemerintah akan
merasa puas. Ukuran kepuasan orang tua atau masyarakat terhadap guru bisa jadi
mengikuti kepuasan pemerintah. Apabila masyarakat puas terhadap guru, maka
sewajarnya masyarakat juga akan merasa puas. Lalu ukuran kepuasan guru itu apa?
Apakah sejumlah gaji ditambah berbagai tunjangan sudah membuat guru puas?
Mungkin sudah, untuk aspek material. Bagaimana dengan kepuasan batin? Salah
satu contoh, materi atau pemateri dalam pelatihan yang kurang sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi di lapangan. Apakah hal ini tidak akan mengurangi rasa
kepuasan guru?
Menjadi guru itu
gampang (barangkali tepatnya digampangkan), karena hanya menyampaikan materi
pelajaran dengan berbagai cara. Sedikit kreasi dan inovasi untuk menjadi daya
tarik siswa sudah cukup. Selebihnya tinggal menghitung berapa jumlah imbalan
yang akan diterima. Menjadi guru itu tidak gampang (meskipun tidak berarti
tidak dapat dilakukan). Sangat banyak
aspek dan pihak yang saling berhubungan sebab akibat. Hubungan itu bersifat
aktif dinamis dan tidak akan pernah ada kata selesai. Kenapa tidak pernah
selesai? Karena guru ideal itu hanya ada dalam gagasan, gagasan itu selalu
tumbuh, berkembang dan berubah. Apakah menjadi guru ideal itu gampang? Apakah salah bila guru
ideal juga mengharap imbalan? Kedua pertanyaan itu saya jawab “tidak”.
Bagaimana dengan jawaban Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar