Senin, 16 Mei 2016

PROFESI GURU, CITA-CITA ATAU BANTING SETIR?

           
Oh ibu dan ayah selamat pagi
Kupergi  sekolah, sampai nanti
            Selamat belajar nak penuh semangat
            Rajinlah selalu tentu kau dapat
            Hormati gurumu, sayangi teman
            Itulah tandanya, kau murid budiman.

Syair di atas sangat popular di kalangan siswa sekolah dasar. Syair yang mencerminkan siswa yang akan berangkat sekolah dan mendapat pesan dari orang tuanya. Salah satu pesannya agar selalu menghormati gurunya. Guru dihormati? Ya…guru harus dihormati dan harus terhormat. Mengapa guru harus dihormati dan terhormat? Salah satu alasannya karena guru merupakan sekelompok orang yang dipercaya dapat menjaga dan melakukan perbuatan-perbuatan terhormat. Karena hal inilah maka, orang tua memercayakan anaknya kepada guru untuk diajari dan dididik. Orang tua memercayai guru dapat menambah pengetahuan dan merubah kelakuan serta keterampilan anaknya menjadi lebih baik. Menjadi anak yang “budiman”. Menjadi lebih baik? Menjadi anak budiman? Ya … kita percaya guru mampu melakukannya. Raport dan ijazah yang diberikan kepada siswa merupakan tanda perubahan itu. Jika anak sudah menerima raport dan ijazah, maka kita percaya anak kita sudah berubah, sudah menjadi “anak yang budiman”.
 Meski itu tanda secara administratif. Tidak usah diperdebatkan, toh kita sering menggunakan tanda administratif sebagai ukuran utama. Bukankah untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa juga mempersyaratkan ijazah? Bukankah untuk menjadi anggota DPR juga memerlukan ijazah? (tidak usah diperdebatkan kepalsuannya!) Bukankah untuk menjadi guru atau dosen yang dilihat juga ijazah? Bahkan untuk menjadi guru besar juga mempersyaratkan ijazah. Pokoknya ijazah merupakan “password” untuk menembus dan memasuki “dunia lain”. Sekali lagi, tidak usah diperdebatkan makna dari ijazah tersebut. Kita dapat memberi makna apapun, sesuai dengan kemauan  kita, asalkan menjadi kesepakatan bersama.
Ketika anak-anak TK diminta untuk mengatakan cita-citanya, mereka dengan lantang akan meneriakan berbagai profesi. Pilot, dokter, polisi, tentara, penyanyi, bintang film, pengusaha dan beberapa profesi lain. Adakah yang meneriakan guru? Ketika anak SD diminta menuliskan cita-citanya, mereka juga akan menuliskan berbagai profesi. Dokter,  pilot, perawat, bidan,  polisi, tentara, bintang film, penyanyi, pengusaha, pengacara,  dan sebagainya. Masih ada yang menuliskan profesi guru? Ketika anak kelas tiga SLTA ditanya tentang cita-citanya, sebagian besar bingung menjawab apa. Sebagian lain tidak menjawab. Beberapa gelintir anak menjawab profesi guru. Beberapa anak yang lain justru antipati kepada profesi guru. Mengapa ada anak yang memilih dan ada yang antipati kepada profesi guru? Jawabannya hanya mereka yang mengetahui. Tapi mungkin cukup menarik untuk ditelusuri.
Kebijakan pemerintah yang membatasi penerimaan PNS hanya untuk tenaga pendidik (guru) dan kesehatan membawa imbas yang “bagus”. Kebijakan ini mendongkrak atau lebih tepatnya mungkin “memaksa” orang untuk memilih profesi guru. Profesi guru yang sebelumnya hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi pilihan utama. Banyak orang tua sangat menekankan anaknya untuk memilih profesi guru, selain tenaga kesehatan sebagai pilihan utama. Imbas yang bagus ini semakin bagus karena masih ditunjang dengan kebijakan pemerintah daerah yang memberi insentif kepada guru. Penghasilan guru semakin tinggi. Kesejahteraan material semakin baik, bahkan dapat dikatakan sangat baik. Anak SLTA yang semula antipati dengan profesi guru, kini terpaksa harus meninjau kembali pandangan dan penilaian mereka. Kini mereka tidak ragu dan sungkan untuk menyatakan cita-citanya menjadi guru. Tidak usah ditanya dulu bakat dan minatnya. Profesi guru menjadi sangat digemari, menjadi pilihan banyak orang, menjadi sangat laris manis.
Banyak orang ingin menjadi guru. Fakultas keguruan kebanjiran mahasiswa. Kelas paralel dibuka sebanyak mungkin. Kampus menjadi ramai dan meriah. Timbul pertanyaan. Sejatinya, mau menjadi guru atau mau menjadi PNS? Bagi yang merasa idealis, akan menjawab mau menjadi guru. Bagi yang pragmatis akan mejawab menjadi PNS. Bagi yang realistis akan menjawab menjadi guru yang berstatus PNS. Pilihan jawaban yang aman. Apapun pilihan jawabannya yang penting menjadi guru harus mempunyai ijazah. Diutamakan ijazah guru. Karena ijazah merupakan persyaratan administrasi yang utama. Bagaimana bila tidak mempunyai ijazah guru? Secara sederhana dan cepat akan dijawab tidak bisa. Tapi hasrat hati tetap akan memilih menjadi guru, dan itu peluang yang paling mungkin diraih. Bukankah ijazah yang dimiliki bukan ijazah guru? Bukankah itu pertanda dulunya tidak bercita-cita menjadi guru? Guru TK, SD, SLTP dan SLTA  menanyakan cita-cita siswanya ketika siswanya masih duduk di bangku belajar. Bukan setelah mereka tidak menjadi muridnya. Bukan setelah memperoleh ijazah. Ketika mereka sudah yakin dengan cita-citanya sebagai guru, maka merekapun memilih sekolah guru. Mencari dan mendapat ijazah guru. Lalu menjadi guru. Menggeluti profesi guru sepanjang hayatnya. Sederhananya, cita-cita menjadi guru sudah direnungkan, dipertimbangkan, dipikirkan dengan masak-masak, dipilih, dipastikan dan ditetapkan sejak duduk di bangku sekolah. Jauh sebelum memperoleh ijazah. Bukan ditetapkan sesaat, seketika dan mendadak. Bukan ditetapkan setelah tidak mendapat pekerjaan kemudian memilih guru sebagai cita-citanya. Bukan sebagai cita-cita “banting setir” setelah “kendaraan” yang dikemudikan tidak menghasilkan apa-apa seperti yang dicita-citakan semula.
Profesi guru merupakan profesi unik, khas dan menarik. Unik karena yang dihadapi manusia yang sedang tumbuh dengan berbagai dinamikanya. Khas karena memiliki ciri yang tidak dimiliki profesi lain. Menarik karena selalu menjadi bahan pembicaraan dalam berbagai tingkatan forum. Mulai tingkat lokal, nasional, regional sampai internasional.
Selalu dibicarakan? Ya, karena guru sangat sering menjadi topik menarik dalam berbagai seminar. Sering menjadi topik menarik? Ya, karena guru berkaitan dengan generasi bangsa, masa depan bangsa, peradaban bangsa, bahkan dunia, kejayaan, kemajuan, kemakmuran, dan keagungan selalu menjadi terminologi yang akrab dengan guru. Guru merupakan rekan sekerja Tuhan dalam arena “penyelamatan”. Penyelamatan dari kegelapan pengetahuan, penyelamatan dari kebodohan, ketertinggalan, kemiskinan dan keterpurukan lainnya. Betapa tinggi dan mulianya fungsi guru. Jadi sudah sangat wajar dan mulia jika ada siswa yang bercita-cita menjadi guru. Dan bukankah juga sangat wajar jika menjadi guru juga mempersyaratkan ijazah guru?
Lalu bagaimana dengan seseorang yang menjadi guru karena “banting setir?” Apakah tidak boleh mencari “peruntungan?” Apakah salah kalau berusaha memperbaiki nasib? Profesi itu pilihan hidup masing-masing individu. Setiap individu boleh memilih profesi apapun. Hanya saja dalam memilih itu ada pengaturan atau peng-administrasi-an agar cita-cita setiap individu akan teratur dan tidak saling terbentur. Bila tidak ada pengaturan maka akan sulit dibedakan antara fakultas keguruan dengan fakultas bukan keguruan. Dibentuknya fakultas keguruan merupakan proses pengaturan cita-cita tersebut.
Lalu bagaimana dengan seseorang yang sudah terlanjur memilih profesi guru karena “banting setir?” Terlebih dahulu, memperbaiki niat dan cita-citanya lalu tetap menekuni profesi guru dengan sepenuh hati. Memperbaiki niat dapat dilakukan dengan cara memperbaiki komitmen, selalu konsisten dan tetap konsekuen dalam profesi guru.
Komitmen hanya merupakan pernyataan, hanya kehendak, hanya sikap untuk melakukan sesuatu. Seseorang bisa saja menyatakan komitmennya dalam suatu hal. Komitmen itu perlu pembuktian, perlu pengujian. Pembuktian dapat dilakukan melalui hasil kerja secara nyata dan terukur. Pengujian dapat dilihat berdasarkan rentang waktu lamanya komitmen tersebut bertahan. Seberapa lama komitmen dapat bertahan? Apakah intensitas dan kualitas komitmen akan tetap terjaga bila berada dalam situasi dan kondisi yang sulit? Jangan-jangan akan “banting setir” lagi? Untuk itulah diperlukan konsisten. Konsisten merupakan pelaksanaan, realisasi dan implementasi komitmen dalam segala situasi dan kondisi. Baik dalam situasi kondisi yang “nyaman” maupun yang tidak “nyaman”.  Orang akan cenderung konsisten dengan intensitas dan kualitas yang tinggi bila situasi dan kondisi “nyaman” bagi dirinya. Bila tidak nyaman baginya maka akan sebaliknya. Individu dengan konsisten model ini sangat besar kemungkinan akan “banting setir” lagi. Individu yang komitmen dan tidak mudah untuk “banting setir” itulah yang dikatakan dengan konsekuen. Seseorang yang konsekuen, akan tetap setia, tidak akan berubah, apapun resikonya. Seseorang yang sudah memilih guru sebagai profesi, baik karena cita-cita maupun karena “banting setir”, maka ia akan tetap menekuni dan setia kepada profesinya selama hidupnya. Apapun resikonya, apapun yang dirasakannya, bagaimanapun situasi dan kondisinya, dan berapapun yang diperolehnya.
 Komitmen hanya menitikberatkan dalam pernyataan atau niat, konsisten menitikberatkan dalam segi waktu, dan konsekuen menitikberatkan dalam segi hasil. Ketiganya saling berkaitan dan berkesinambungan. Niat yang diimplementasikan hanya sesaat tidak akan membuahkan hasil yang maksimal. Guru yang memiliki komitmen, konsisten dan konsekuen adalah guru yang budiman. Apa mungkin Hormati gurumu, sayangi teman. Itulah tandanya, kau murid budiman, kalau gurunya bukan orang yang budiman?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar